Langsung ke konten utama

Mengendalikan Takdir Hidup (bag. I)

sun rise

Mengaku saja, pasti di tahun baru ini kamu juga bikin resolusi tahunan. Pengen melakukan ini, pengen mencapai itu, pengen punya kebiasaan ini, pengen menambah kemampuan itu. Pokoknya banyak deh, baik dan keren-keren pula.

Berkaca dengan resolusi-resolusi tahun-tahun sebelumnya, kita pasti kepikiran juga, "Apa semua ini bisa tercapai ya?"

Kita meragukan diri sendiri, karena memang kenyataannya kita nggak sedisiplin itu. Bisa jadi kita semangat membara dan punya keyakinan 100% pada awal Januari, akhir bulan udah ada satu-persatu pelanggaran. Awal Februari pelanggaran makin bertambah, akhir Februari ambyar. Ya... paling banter sampe awal Maret, atau akhir maret deh. Abis itu, sudahlah... kita mulai pesimis. Makin jauh dengan catatan resolusi yang indah itu. Kamu banget kan pasti ini?

Sudah, tak usah malu, kita semua sama, hehe... kita masuk ke kelompok 92% orang yang gagal menjalankan resolusi tahunan. Karena memang faktanya, hanya 8% pembuat resolusi tahunan yang berhasil komitmen sampai akhir tahun. Kita banyakan hehe... mayoritas yang gagal.

Sebenernya apa sih yang bikin resolusi kita gagal?

Kalo kamu cari di internet pasti ketemu daftar panjang alasan kenapa resolusi kita ambyar. Terlalu banyak, terlalu mengawang, terlalu ambisius, jangka waktunya terlalu panjang, banyak deh pokoknya.

Dan biasanya, artikel-artikel semacam itu juga dilengkapi dengan tips dan tricks buat bikin resolusi anti gagal.

Tips yang paling populer sih udah pasti bikin resolusi yang SMART. S = specific, M = measurable, A = attainable, R = realistic, dan T = time bound.

Kamu bisa cari dan pelajari tips super manjur ini di internet. Karena sekarang saya bukan mau bahas hal ini. Saya pengen membahas hal yang lebih mendasar lagi, hal yang menyebabkan kenapa resolusi atau goals yang kita rencanakan sering gagal di tengah jalan. Kenapa kita sering males, susah gerak, banyak alasan, mudah patah, dan gampang nyerah untuk mengejar apa yang kita tuju.

Begini pemirsa, menurut Dr. Bruce Lipton dalam bukunya yang berjudul The Biology of Belief, kita ini punya sistem pengendalian diri. Sistem ini yang membuat kita bisa jalan, bisa ngomong, bisa nangis, bisa baca, bisa mengantuk, bisa ngerasa kenyang, ngerasa mules, ngerasa sakit, takut, seneng, jatuh cinta, dan semua-muanya yang pernah dan akan kita lakukan dalam hidup ini.

Sistem pengendalian ini terbagi menjadi 2. Yaitu sistem pengendalian bawah sadar yang punya porsi 95%, dan sistem pengendalian sadar yang porsinya 5%.

Kok yang bawah sadar banyak banget ya?

Ya... pkoknya kata Dr. Lipton gitu. Sistem ini kerjanya yang mengendalikan detak jantung, sistem pencernaan, sistem syaraf, aliran darah, imunitas, dan lain-lain. Pokoknya sistem bawah sadar ini kerjanya mengendalikan apa yang tidak bisa kita kendalikan secara sadar.

Sedangkan yang 5% lainnya adalah pikiran kreatif kita, yang bisa kita kendalikan. Misalnya memilih makanan, belajar bahasa asing, baca buku, hobi miara cupang, atau obses dengan tanaman hias yang lagi hits. Pokoknya ini pikiran yang kita sadari, bisa kita kendalikan.

Sistem pengendalian/program pikiran kita ini diinstal ke tubuh kita sejak kita kecil. Antara umur 0 sampai 7 tahun. Masa dimana tubuh kita belajar berbagai kemampuan bertahan hidup. Mulai dari melihat, berjalan, berbicara, memfungsikan otak buat berpikir, dll. Program ini akan menjadi belief system yang kita bawa sampai dewasa bahkan sampai tua. Program ini yang akan menentukan jalan kehidupan kita.

Makanya di buku Rich Dad and Poor Dad, pak Kiyosaki juga bilang kalo orang yang terlahir dan dibesarkan di keluarga miskin akan cenderung tetep miskin. Sedangkan orang yang terlahir dan dibesarkan oleh keluarga kaya akan cenderung menjadi kaya. Kenapa? Karena belief system yang telah tertanam dari kecil.

Contohnya gini, misal ada orang yang udah miskin seumur hidup mendadak dapet uang 100 milyar, dan di sisi lain pak Sandi Uno kehilangan uang 100 milyar. Kira-kira apa yang akan terjadi 5 tahun kemudian?

Biasanya, si orang miskin yang bermental miskin ini akan menghamburkan uangnya untuk konsumsi. Dia beli apapun yang selama ini nggak sanggup dia beli. Pada akhirnya uangnya akan habis dan dia akan kembali jatuh miskin. Inilah mental miskin.

Sedangkan pak Sandi Uno, 5 tahun setelah bangkrut pasti bisa mengembalikan hartanya lagi bahkan bisa nambah banyak. Inilah mental kaya.

Kalo diliat secara sederhana, ini terlihat seperti takdir. Si miskin emang ditakdirkan tetep miskin, sedangkan pak Sandi Uno ditakdirkan untuk terus jadi orang kaya. Semua ini karena mindset yang dijalankan oleh sistem bawah sadar kita yang sudah terinstal.

Dan inilah sebab kenapa resolusi yang kita buat sering gagal. Karena belief system kita yang kemungkinkan besar udah nggak beres dari sononya. Bisa jadi belief system kita terinstal dari keluarga atau lingkungan yang toxic, merasa rendah, merasa lemah, tidak mau kerja lebih keras, dll.

Makanya saat kita mau coba jadi kaya tapi kok susah, mau jadi disiplin kok susah, mau jadi komitmen kok susah. Memang udah ada belief system atau program yang tertanam di alam bawah sadar kita.

Karena itulah kita cenderung akan menyabotase diri kita sendiri untuk menunda, males, takut, minder, nggak pede, dll. Kita bergerak sesuai dengan belief system yang tertanam di dalam diri kita. Tubuh kita akan nurut dan manut aja ke sistem bawah sadar ini walaupun kita tau ini adalah hal salah/bodoh. 

Loh loh, kok ngeri ya?

Terus kalo program pikiran yang terinstal di alam bawah sadar kita terlanjur buruk, gimana dong? Ada nggak sih cara untuk memperbaikinya?

Jawabannya ada.

Caranya ada 2 saja, yaitu:

1. Ketahui dasar permasalahan hidup kita, dan

2. Masukkan program baru ke alam bawah sadar kita

(lanjut ke baian 2 ya...)

Komentar