 |
Saya dan Topi |
Ini cerita tentang belahan jiwa gue yang telah pergi beberapa bulan lalu. Gue merindukannya, sangat sangat merindukannya. Gue tersiksa ditinggal dia, dia adalah pendengar segala curahan hati yang paling baik, terbaik yang pernah gue miliki. Namanya Topi. Topi the Catman.
Semuanya berawal sejak Agustus 2016. Gue disambut kucing kecil hitam putih yang menggemaskan. Gue baru pulang ke rumah di daerah Pamulang, gue kelelahan karena perjalanan 24 jam naik bis dari Palembang. Saat itu dia masih belia, masih hitungan anak kecil, masih bisa digendong dengan tangan sebelah kiri saja. Topi cepat sekali akrab dengan penghuni rumah kami, terutama gue. Saat itu di rumah kami masih banyak kucing, ada Mujeng dan 5 anaknya, ada Soleh, dan seekor kucing kampung lagi yang aku lupa namanya.
 |
Topi umur 4 bulan |
Topi selalu berusaha mencuri perhatian gue, kalo gue ngepel atau nyapu rumah dia selalu merecok. Saat nyapu dia selalu duduk dan menghalangi kerjaan gue, gue dorong atau gue tarik sapunya jadilah seperti mobil-mobilan baginya. Kalo ngepel dia selalu mencakar-cakar dan menggigit-gigitnya, seperti alat pel itu adalah musuh bebuyutan.
Dalam dunia perkucingan, mungkin Topi itu adalah sosok yang cakep. Kalo dianalogikan, Topi itu mungkin seperti cowo-cowo Korea yang banyak digandrungi cewe-cewe belakangan ini. Dia ganteng sekaligus cantik. Sehingga selain mengejar betina, banyak kucing-kucing jantan juga yang ikut mengejar-ngejar Topi. Semenjak memelihara Topi, gue jadi yakin di dunia perkucingan juga ada yang namanya LGBT. Topi sendiri contohnya, dia tentu saja mau mengewini betina dan juga mau mau saja saat dikejar-kejar kucing jantan. Sebenarnya gue juga menduga jantan yang mengejar-ngejar Topi itu mengalami penyimpangan seksual. Tepatnya biseksual, karena pernah terlihat oleh gue si jantan ini sedang mendekati kucing betina lain untuk diajak kewin. Ah Topi Topi.. wat hepen tu yu Boy? Tapi itu tak berlangsung lama, gue hanya menyaksikannya beberapa kali, selebihnya Topi normal, dia mengejar kucing betina dan mencoba mengewininya.
Banyak sekali yang pengen gue tulis tentang Topi, ingin panjang lebar malah. Tapi sepertinya akan gue tulis singkat saja. Pernah beberapa waktu si Topi bosan jadi kucing, dia ingin menjadi monyet, dia belajar naik pohon, dia memanjat gulungan karpet, dia memanjat tirai, dia memanjat apapun yang bisa dipanjat dan melompat-lompat persis seperti monyet.
 |
Topi santai di rumah pohon |
Topi juga agaknya tau cara bersenang-sengang. Dia memakan akar rumput tanaman anting anting. Dari Topilah kami jadi tau apa itu tanaman anting-anting dan kenapa para kucing senang sekali memakannya. Ternyata tanaman anting-anting itu jika dimakan akarnya oleh kucingn akan berefek seperti manusia yang mengkonsumsi minuman keras, mereka akan merasa terbebas dari segala macam beban hidup. Merasa tenang dan ringan,
flying, nge
-fly.
 |
Topi goler-goleran di jalan |
Yang paling membuat gue sayang kepada Topi adalah saat dia menemani gue belajar, menjadi pendengar segala keluh kesah hidup gue, menghibur dengan caranya yang ada-ada saja, selalu setia menunggu kedatangan gue di depan pintu,
eongan tak santainya yang selalu membuat gue kesal ketika dia membangunkan pagi jam tiga.
 |
Topi menguasai remote tv |
Gue selalu suka saat-saat bersama Topi. Gue merindukannya. Gue rindu ketika Topi tidur di kertas-kertas tugas kuliah dan gue mencubitinya, dia diam saja seperti tak ada yang terjadi, gue tau dia hanya berpura-pura tidur. Gue rindu Topi saat gue membaca buku dengan posisi tengkurap, dia tiba tiba muncul dan duduk manis tepat di depan muka gue, menghadap buku yang sedang gue baca, heh, seperti dia bisa membaca saja, padahal ujung-ujungknya pasti dia mau ngetecokin buku gue. Dia itu suka sekali mendengar suara kertas yg dibolak balik saat gue membaca. Dan tentu saja dia lebih suka mencakar kertasnya pas gue membuka halaman berikutnya.
 |
Mencari kehangatan di atas kertas fotokopian |
 |
Topi bobok cantik |
Topi pernah hilang di Taman Salak. Gue sangat khawatir dan mencarinya sampai ketemu. Topi sering kami ajak jalan-jalan ke taman, dia selalu senang ketika itu. Topi ganteng juga adalah artis komplek, hampir semua anak umur sekolah SD komplek Al-Falaah kenal dengan Topi, anak-anak itu selalu menyapa Topi saat kami ajak dia jalan-jalan, hey, bahkan kami pemiliknya saja tak mereka sapa.
Topi sering gue ajak bercerita, dia dengan setia mendengarkan sesekali dia menatap mata gue seolah berempati atau mengiyakan apa yang gue ceritakan. Bahkan dia mengerti sekali apa yang gue rasakan. Dia mengelus pipi gue dengan kepalanya yang lembut saat gue bercerita sambil menangis. Saat gue sakit, dia tak pernah beranjak meninggalkan gue, dia selalu ada di samping gue, menemani gue tidur. Topi itu mengerti sekali, seperti namanya “the catman”, dia seperti manusia berwujud kucing.
 |
Sweet candid |
Gue sangat menyayangi Topi, sangat sangat sangat sangat sangat sayang. Gue patah hati saat harus menerima kenyataan bahwa Topi tak bisa berlama-lama lagi bersama gue. Topi sakit, dia diam, tak mau makan, seperti keracunan, dia seperti sesak nafas, dia lemas, dia dirawat dan diberi pil hitam oleh Teteh, disuapi susu beruang, keesokan harinya kami memanggil pak mantri kucing. Ternyata benar, Topi keracunan, kami berusaha menyelamatkannya. Dia disuntik, namun sayang, topi sudah tidak bisa bertahan dan akhirnya mati.
Saat itu gue sedang mendonorkan darah, gue ditelpon, Topi mati. Saat jarum itu merangsek ke lengan gue, gue meneteskan air mata. Gue menangis bukan karena takut dengan jarum yg menusuk tangan kanan gue untuk menghisap 400cc darah itu, gue menangis karena sedih, my lovely Topi telah pergi, forever.
Komentar
Posting Komentar